Tanjuang ampalu

0
244

Usai pertemuannya dengan Syekh M Yasin di Mekkah, Buya Sahrudin yang berasal dari Tanjung Priok, cepat-cepat pulang dan langsung menuju kediaman M Yasin di Sijunjung. Ia ingin sekali bertemu dengan Syekh yang dikaguminya itu. Tapi, sesampainya di Sijunjung, yang ia temukan hanyalah makam M Yasin. Bulu kuduknya merinding, ketika tahu M Yasin sudah meninggal puluhan tahun lalu.

KEJADIAN itu pada tahun 2010 lalu. Dengan susah payah Sahrudin menemukan kediaman M Yasin di Tanjuangampalu, Kecamatan Koto VII, Kabupaten Sijunjung. Keluarga keturunan M Yasin menjelaskan, nenek moyangnya itu telah tiada sejak tahun 1945. Tepatnya pada 12 Syawal. Sahrudin kemudian pulang menjemput rombongan, dan mengajak jamaahnya berziarah ke makam M Yasin di Tanjungampalu. Sekaligus, ia meminta masyarakat sekitar berkumpul, untuk diberikan ceramah, dan menceritakan pengalamannya bersama M Yasin di Mekkah.

Tidak hanya itu, tujuh tahun lalu, seorang nenek bersama cucunya datang jauh-jauh dari Pariaman ke Tanjungampalu, mencari M Yasin. Ia juga mengaku pernah bertemu dengan M Yasin di Mekkah. Ketika itu, ia menceritakan pada M Yasin tentang penyakit cucunya yang tidak kunjung sembuh. M Yasin kemudian menunjukkan obat untuk cucunya itu.

Sepulang dari Mekkah, nenek itu kemudian membuat ramuan yang ditunjukkan M Yasin, lalu memberikan pada cucunya. Di luar dugaan, cucunya itu langsung sehat. Ia pun bersegera berangkat ke Sijunjung, mencari tempat tinggal M Yasin di Tanjungampalu. Ketika di Mekkah, M Yasin mengatakan kalau rumahnya di Tanjungampalu. Ia datang untuk mengucapkan terima kasih, sekaligus bersilaturahmi ke rumah M Yasin. Tapi yang didapatkannya sama persis dengan dengan Sahrudin.

Berdasarkan cerita warga sekitar, semasa hidupnya, M Yasin memang tokoh besar dalam pengembangan ajaran Islam, dan tarikat Syatariyah di Tanjungampalu dan sekitarnya. Ia seperguruan dengan Syekh Malin Bayang dari Kenagarian Sijunjung. Sama-sama berguru kepada Syekh Burhanudin di Pariaman. Keramatnya pun sampai sekarang masih sering disebut-sebut.

Salah seorang anggota keluarga keturunan M Yasin, Gusmiati, 37, yang sekarang menjadi penjaga makam M Yasin, bercerita tentang kehidupan M Yasin yang terus diwarisi keluarganya dari dulu. Ia mengungkapkan, ketika M Yasin ke pasar Tanjuangampalu pagi hari, para pedagang berebut ingin dibeli barang dagangannya pertama kali oleh M Yasin. Konon, kalau M Yasin yang pertama kali membeli jualan mereka, maka dagangan mereka akan laris seharian itu. Kalau hari Jumat, banyak hal ganjil yang dilihat warga tentang keberadaan M Yasin.

“Ada warga yang melihat M Yasin masuk ke rumahnya sebelum Jumatan. Di mudiak, Masjid Istiqamah, Kotopanjang, warga mengatakan M Yasin memberikan khutbah. Di ilia, Masjid Nurul Huda, Auagadiang, warga juga mengatakan M Yasin memberikan khutbah di Jumat yang sama. Tidak jarang juga warga melihat M Yasin melintas batang aia Ombilin menuju surau yang dulu berada di seberang, di belakang makam, dengan menggunakan selendang putih,” ungkap perempuan yang akrab dipanggil Titi ini.

Sebelum jasad M Yasin dikuburkan, para murid M Yasin mengangkat tubuh M Yasin bersama-sama dari rumah. Tapi, sebelum jasadnya sampai di makam, tubuh M Yasin semakin lama, semakin ringan terasa oleh murid-muridnya. Rasa heran para murid itu ternyata berujung, ketika mereka hendak menyingkap kain kafan bagian wajah M Yasin sebelum masuk liang lahat, ternyata tiada siapa-siapa lagi di dalam kain kafan itu. Mau apalagi, mereka tetap mengubur kain-kain pembungkus jasad M Yasin.

Titi juga menceritakan, 20 tahun setelah M Yasin meninggal dunia, tepatnya pada 1965, air sungai Ombilin di dekat makam M Yasin dan di belakang rumah mereka, meluap. Namun, anehnya, ketika air susut, makam M Yasin tidak basah sedikit pun, tetap kering dan bersih. Berbeda sekali dengan bangunan rumah warga yang terendam air. Warga meyakini kalau makam itu tidak tersentuh air. Setelah kejadian itu, kalau malam Jumat, atau Kamis malam, keluarga keturunan M Yasin sering melihat cahaya terang di makam itu.

Lima tahun lalu, makam M Yasin kemudian dijadikan sebagai salah satu tempat cagar budaya oleh Dinas Pariwisata Sijunjung, bekerja sama dengan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Batusangkar.

Kasi Bina Budaya Dinas Pariwisata Sijunjung, Faldi Mahendra, yang lebih dikenal dengan nama Mak Pado menyebutkan, sebagai peninggalan budaya yang telah memiliki umur lebih dari 50 tahun, makam ini layak dijadikan cagar budaya lokal.

”Sayangnya, belum ada perda yang mengatur tentang cagar budaya ini. Kalau Sawahlunto telah ada perdanya tentang cagar budaya ini. Kami juga akan menuju ke sana, rencananya dalam rapat penyusunan nanti akan kami usulkan,” papar pria yang juga seniman.(*)