Tambang
Tambang merupakan salah satu nagari yang terdapat di kecamatan IV Jurai yang berbatasan langsung dengan hutan TNKS. Secara tofografi nagari ini memang beragam, sebab terdiri dari daratan, perbukitan dan Lembah yang dilalui alur sungai yang dikenal dengan sungai Batang Salido.
Nagari Tambang ini sebelah utaranya berbatasan dengan kabupaten Solok, sebelah selatan dengan nagari Salido, sebelah barat dengan nagari Lumpo dan bagian timurnya berbatasan dengan kecamatan Batang Kapas.
Kemunculan nagari Tambang ini tidaklah terjadi begitu saja, tapi melalui aturan dan proses sejarah yang alami dengan pepatah adat “Kok ketek Nan Balingka Tanah Gadang dan Balingka Aua” (Balingka adat).
Di nagari ini terdapat 5 suku yang terdiri dari Caniago, Melayu, Tanjung dan Jambak. Masing-masing suku ini memiliki pandan pakuburan, basasok bajarami, basawah baladang, dan baranak bakamanakan.
Menurut sejarahnya, asal masyarakat ini dari kampuang Pancuang Taba, Ngalau Gadang dan Limau Limau. Mereka yang terdiri dari 14 orang yang berasal dari 5 suku secara berkeluarga ini, berjalan kaki menuruni bukit menuju arah selatan dari Pacuang Taba kecamatan Bayang Utara. Sesampai di bukit Ganduang Kuciang mereka menurun kearah bawah sungai batang Salido, yang merupakan tetangga sebelah utara nagari ini. Dari sinilah rombongan itu “membilah” arah yang akan mereka tuju sebagai mana nagari Tambang saat ini.
Seiring dengan kembalinya kepada sistem pemerintahan nagari pada tahun 2002 lalu, Tambang yang memiliki 4.984 jiwa penduduk yang terdiri dari 2.463 pria dan 2.521 wanita ini, terus berupaya menggali potensi dan kekayaan yang dimiliki. Sebab dengan luas wilayah mencapai 15.000 hektar itu, nagari Tambang memang menyimpan berbagai potensi yang bisa dijadikan sumber penghidupan bagi masyarakatnya.
“Namun sampai saat ini, secara umum kehidupan ekonomi masyarakatnya masih tergolong miskin sebab dari 1.280 kepala keluarga yang ada, sebanyak 985 adalah miskin,” ungkap wali nagari Tambang,Syamsir Datuak Rajo Mangkuto, kepada Padang Ekspres kemarin.
Dijelaskanya, pada zaman penjajahan Belanda, nagari ini memang menjadi salah satu basis kekuatan untuk mendatangkan penghasilan bagi pemerintahan kolonial. Sebab di nagari ini memang menyimpan kandungan emas. Oleh pemerintah Kolonial Belanda, potensi ini mereka garap, sehingga saat itu berdirilah pusat penambangan emas di nagari ini.
Berkat kehadiran tambang emas itu, sehingga masyarakat mulai mengenal nagari ini dengan sebutan Tambang yang di abadikan menjadi sebuah nama nagari. Namun tidak ada kejelasan pasti dari saksi sejarah yang hidup, kapan Tambang emas ini mulai dibuka dan kapan pula tidak difungsikan. “Yang mereka tahu, di nagari ini dulunya berdiri sebuah tambang emas yang dikelolah oleh Belanda,” jelasnya.
Sampai saat ini masih terlihat goa bekas penambangan itu. Oleh masyarakat lokasi goa bekas tambang emas ini diberi nama dengan bukit Tambang. Lokasinya persis berada di pinggir jalan sebelah kiri sekitar 1 kilometer menuju perumahan masyarakat, atau sekitar 5 kilometer dari simpang kampuang Bungo Pasang kecamatan IV Jurai.
Dijelaskanya, walau nagari ini sangat dikenal memiliki kekayaan kandungan emas, namun tidak satupun masyarakat di kampung ini yang bekerja sebagai penambang emas. Secara umum masyarakat di kampung ini hanya bekerja sebagai petani penggarap lahan. Ini memang disebabkan karena pada zaman itu, masyarakat “pribumi” memang tidak diberi kesempatan untuk mendekati lokasi penambangan oleh tentara Belanda.
Kalaupun ada masyarakat yang dipaksa bekerja “rodi”, oleh Belanda waktu itu, aksesnya tertutup untuk berkomunikasi dengan masyarakat luar. Jelas saja tidak banyak data dan informasi secara berantai atau turun temurun yang bisa diceritakan kepada anak dan cucunya saat itu.
Karena tidak adanya transper pengetahuan, sehingga setelah ditinggalkan Belanda, lokasi tambang itu juga terabaikan, bahkan hingga saat ini.
“Konon cetrita, goa tambang yang saat ini masih terlihat kokoh di pinggir jalan ini bisa tembus hingga ke kecamatan Batang Kapas. Namun tidak satupun masyarakat yang berani menyelusuri kebenaran cerita ini karena takut diterkam ular besar di dalam goa,” ungkap tokoh masyarakat setempat, Ramlan Djam, kepada Padang Ekspres kemarin.
Lebih jauh dijelaskan, di nagari Tambang ini pada zaman penjajahan Belanda dulu juga berdiri sebuah Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Kehadiran pembangkit sumber enirgi listik yang dikenal dengan PLTA Salido Ketek ini, dijadikan sebagai pusat pembangkit listik kebutuna PT Seman di Indaruang kota Padang. Sekarang bekas tiang pangantar kabel menuju PT Semen Indarung padang itu masih terlihat menembus kawasan hutan.
Ini merupakan potensi yang tidak tergarap saat ini, sehingga tidak mampu memberikan perubahan dan pendapatan pada nagari Tambang yang saat ini masih mengandalkan bantuan dari pemerintah melalui Dana Alokasi Umum Nagari (DAUN) yang bersumber dari APBD.
“Selain itu, potensi lahan yang memiliki luas 15 ribu hektar itu juga tidak tergarap maksimal karena keterbatasan modal, sehingga tidaklah mengherankan jumlah kk miskin masih mendominasi di nagari ini,” tutupnya.(*)