Memang sedikit aneh jika mendengarnya. Tapi itu adalah fakta dan menjadi fenomena unik di Jorong Talang Anau Nagari Talang Anau Kecamatan Gunuang Omeh Kabupaten Limapuluh Kota-Sumbar.
Jika dilihat bentuknya, batu padat yang memanjang tersebut tak jauh berbeda dengan batu kebanyakan lainnya. Namun yang berbeda hanya suaranya jika ditokok, karena batu tersebut mengeluarkan bunyi nyaring layaknya Talempong (alat musik pukul khas Minangkabau).
Sebanyak enam batu yang bersusun dengan ukuran berbeda, mulai dari ukuran terpendek sepanjang satu meter, hingga ukuran terpanjang 1,80 meter. Jika ditokok, masing-masing batu itu mengeluarkan bunyi dengan nada yang berbeda.
Meski belum pernah ditimbang, tapi bobot batu itu juga bervariasi. Diperkirakan batu terkecil berbobot sekitar 50 kilogram dan batu terbesar berbobot lebih seratus kilogram.
Selain itu, juga ada batu kecil berbentuk sedikit bulat seukuran tinju anak-anak yang berfungsi sebagai alat untuk menokok Batu Talempong. Batu kecil itu juga berjumlah enam, yang ditempatkan di atas masing-masing Batu Talempong.
Sementara untuk menokok batu tersebut juga ada ritualnya. Dalam pagar besi berukuran sekitar lima kali sembilan meter, tempat Batu Talempong itu berada, ada semacam tempat pembakaran kecil berbentuk seperti senter setinggi dua jengkal orang dewasa yang juga terbuat dari batu.
“Ritual ini hanya untuk minta izin pada penunggu Batu Talempong ini, sekaligus untuk menghargai atas jasa-jasa beliau,” ujar Ril Afrizal, Juru Kunci Batu Talempong Talang Anau, Minggu 13 November 2016.
Ril Afrizal dan masyarakat sekitar meyakini jika penunggu batu tersebut masih berada di lokasi Batu Talempong itu untuk menjaga agar tidak rusak atau untuk melindungi batu tersebut dari tangan-tangan orang iseng dan tidak bertanggung jawab.
“Dalam sejarahnya di tengah masyarakat, penunggu batu ini bernama Syamyudin. Beliau juga yang telah menemukan dan membawa batu-batu ini menjadi berkumpul seperti ini. Batu ini sendiri diperkirakan telah ada tersusun di tempat ini sebelum tahun 1.400 Masehi. Namun dari sejumlah peniliti yang telah melakukan penelitian ke tempat ini, diduga batu ini telah digunakan saat tahun 2.000 Sebelum Masehi,” ujar Ril Afrizal.
Keberadaan batu ini tak hanya menarik para peneliti untuk datang ke Nagari Talang Anau, tapi menarik para wisatawan dari berbagai daerah untuk melihat dan mencoba keajaiban Batu Talempong ini.
Sejarah
Jika selama ini kita hanya mengenal talempong sebagai alat musik tradisional Minangkabau, kali ini tidak lagi. Jika biasanya talempong terbuat dari kuningan, dan bentuknya mirip dengan alat musik gamelan yang ada di Jawa, talempong ini terbuat dari batu. Bunyi yang dihasilkan persis sama dengan alat musik talempong, sehingga dinamakan Batu Talempong Talang Anau.
Talempong yang satu ini, disusun sesuai dengan tangga nada yang ditentukan oleh masing-masing lempengan batu, sehingga bisa dimainkan mengikuti irama lagu tradisional Minangkabau. Alunan nada yang dikeluarkan, akan membuat perantau merasa rindu kampung halamannya. Anda tertarik mengunjunginya?
Objek wisata talempong batu ini terletak 38 Km arah utara Kota Payakumbuh, atau 47 Km dari kantor bupati Limapuluh Kota. Menurut masyarakat sekitar, batu yang berjumlah enam buah tersebut, ada sejak zaman dahulu. Namun tidak ada catatan yang menunjukkan, bahwa batu ini benar-benar di rancang untuk dijadikan talempong.
Benar atau tidak, konon kabarnya, bila seseorang yang memukul talempong batu tidak percaya dengan kekuatan magic pada batu itu, serta melecehkan tata cara yang diisyaratkan, maka si pemukul tersebut akan terkena kutukan berupa penyakit. Yang tidak bisa disembunyikan dan juga bisa merenggut nyawa.
Penuh Mistik dan Legenda
Menurut legenda, Batu Talempong ini awalnya berserakan di bukit Padang Aro, dan dipindahkan ketempatnya sekarang, oleh seorang pemuda yang bernama Syamsuddin. Setelah sebelumnya pemuda ini bermimpi didatangi orangtuanya berturut-turut 3 kali, agar mengumpulkan batu-batu tersebut ke dekat tumbuhnya serumpun bambu, yang dinamai Talang dan pohon enau (Anau).
Anehnya Syamsudin memindahkan batu-batu berukuran besar itu hanya dengan jalinan lidi kelapa hijau. Batu-batu itu digiring seperti layaknya orang menggiring ternak ke kandang, sekitar 1 km. Setelah mengumpulkan batu-batu itu, Syamsudin mulai bertingkah aneh, terkadang hilang tak tentu rimbanya, dan muncul tiba-tiba entah dari mana.
Karena sering menghilang, penduduk memberinya gelar Syamsudin Tuanku Nan Hilang. Setelah menghilang, tiba-tiba beliau muncul dan meninggalkan pesan agar penduduk menjaga batu-batu tesebut dengan baik, dan apabila ingin membunyikan ataupun memukul batu tersebut, mintalah izin terlebih dahulu dengan membakar kemenyan putih.
Pada kenyataannya memang terjadi, jika tidak diasapi dengan kemenyan putih, batu tersebut tidak akan mengeluarkan bunyi yang nyaring, tetapi hanya berbunyi layaknya sebuah batu biasa yang dipukul. Keanehan lainnya adalah apabila daerah ini akan ditimpa bencana, musibah ataupun wabah, maka batu itu akan mengeluarkan bunyi menderum, menggelegar serta mengeluarkan suara-suara aneh lainnya.(*)