Nagari Taeh Bukik

0
202

Terbang layang di Taehbukik

Menyebut Nagari Taeh bukik, warga Kabupaten Limapuluh Kota langsung teringat dengan bupati mereka Alis Marajo Datuak Sori Marajo. Politisi tangguh  itu memang dibesarkan di Taehbukik, persisnya di Jorong Bukiktapuang. Seperti apa, Taehbukik sekarang?

Tidak banyak yang berubah dengan Nagari Taehbukik di Kecamatan Payakumbuh, Kabupaten Limapuluh Kota. Kecuali jalannya yang semakin mulus dan penduduknya yang semakin ramai. Nagari itu masih seperti dulu, dikitari Gunuang Bonsu atau Gunung Bungsu.

Di Gunung Bungsu itupula, setiap tahun Hijriyah di bulan Safar, orang-orang dari berbagai penjuru daerah di Sumbar, terutama dari Kabupaten Limapuluh Kota, khususnya Nagari Taehbukik dan Nagari Taehbaruah, datang untuk bershalawat kepada Nabi Muhammad dan membaca surat Yasin.

Kendati tradisi yang dikenal dengan nama “Basafa ka Gunuang Bonsu” (Memperingati Bulan Safar di Gunung Bungsu)  itu tidak ditemukan di kampung-kampung lain di Minangkabau yang penduduknya seratus persen Islam. Tetapi, warga Taehbukik tetap melanjutkan tradisi warisan nenek-moyang mereka.

Bahkan tempo doeloe, pada minggu terakhir bulan Safar, warga Taehbukik masih menjaga sejumlah aturan atau larangan yang dibuat para  leluhur. “Diantaranya, tidak boleh mengambil air dari sumber air manapun yang ada di nagari ini,” ujar Wali Nagari Taehbukik Yon Wihadi Datuak Sindo, pekan lalu.

Hanya saja, seiring perkembangan zaman, tradisi “Basafa ka Gunuang Bonsu” mulai mengalami pergeseran nilai. Larangan tidak boleh mengambil air pada minggu terakhir bulan Safar, tidak lagi dilakukan oleh semua kalangan di Taehbukik, kecuali sebagian kaum tua. Ini tentu terjadi karena kebutuhan air yang semakin hari, semakin meningkat.

Pergeseran nilai budaya juga terjadi dalam menentukan hari yang dipakai untuk “Basafa ka Gunuang Bunsu”. Jika dulu, masyarakat Taehbukik melakukan tradisi tersebut setiap hari Rabu di bulan Safar. Maka sekarang, tradisi itu lebih banyak dilakukan pada hari Minggu di bulan Safar.

“Fungsi Basafa ka Gunuang Bonsu juga bukan lagi mengadakan shalawat atau yasinan. Namun lebih diarahkan untuk melihat keindahan alam yang menakjubkan dari atas puncak Gunung Bungsu,” kata Yon Wihadi Datuak Sindo, didampingi tokoh masyarakat Taehbukik D Datuak Paduko Sindo.

Pemandangan dari Gunung Bungsu, seperti disebut Yon Wihadi Datuak Sindo, memang menakjubkan. Tapi, Gunung Bungsu bukanlah satu-satunya tempat wisata di Taehbukik. Di nagari ini, persisnya di Jorong Pabatuangan, terdapat objek wisata bernama “Aia Songsang”.

“Sesuai dengan namanya, aia songsang adalah air yang tidak mengalir dari atas ke bawah atau dari tempat lebih tinggi ke tempat lebih rendah. Tetapi mengalir dari bawah ke atas atau dari kawasan perkampungan menuju arah Gunung Bungsu yang berada di tempat tinggi,” ujar Datuak Dindo.

Agar keberadaan objek wisata Aia Songsang tidak tinggal nama, saat ini telah dibangun waduk atau cekdam Aia Songsang. Fungsi waduk berukur 50 x 50 meter tersebut, tentu saja untuk menjaga ketahanan air songsang yang sangat bening. Peresmian waduk dilakukan Bupati Alis Marajo, beberapa waktu lalu.

Olahraga Menantang.
Selain memiliki tradisi Basafa ka Gunuang Bunsu dan objek wisata Aia Songsang. Taehbukik, nagari seluas 2.691 hektare yang dihuni 3.350 jiwa penduduk, memiliki dua arena olahraga menantang. Yakni, arena olahraga terbang layang dan arena motocross.

Kedua arena olahraga yang menguji adrenaline itu, sama-sama berada di Jorong Bukiktapuang. Jorong yang menjadi kampung kecil, Bupati Limapuluh Kota Alis Marajo. “Ya, di kampung Pak Alis-lah, kedua arena olahraga menantang itu berada,” ujar Datuak Sindo.

Arena terbang layang di Bukiktapuang, sudah dijejal penerbang dari berbagai daerah di Sumbar, Riau, maupun Jambi. Para penerbang awalnya naik ke puncak Gunung Bungsu dengan ketinggian take-off sekitar 450 meter. Kemudian melayang mengelilingi Nagari Taehbukik, hingga mendarat di kawasan bernama Padangpicancang seluas 1 hektare.

Lantaran memiliki arena terbang layang yang bagus,  banyak anak muda di Taehbukik berbakat menjadi atlet paralayang. Salah seorang diantaranya, Yayah Wihadi yang masih bersekolah di SMAN 1 Guguak. Kebetulan, Yaya merupakan putra Yon Wihadi Datuak Sindo, sang wali nagari.

Adapun arena Motocross di Bukiktapuang, Nagari Taehbukik, terbilang sangat menantang dan penuh tanjakan. Arena memiliki panjang hampir 2 kilometer itu, sering dijadikan para pebalap dari berbagai penjuru daerah di Tanah Air, untuk menjejal  kemampuan mereka.

“Arena motocross Bukiktapuang, memang bagus,” kata Faisal Taru, pengurus Ikatan Motor Indonesia (IMI), suatu ketika. “Ya, untuk kejuaran motocross di Sumbar, Bukiktapuang termasuk lokasi paling digemari pembalap,” kata Ayia, event organizer yang sering menggelar motocross.

Menyadari hal tersebut, Pemnag Taehbukik, bersama KAN, Bamus, dan tokoh-tokoh masyarakat, sudah sepakat menjadikan arena terbang layang, motocross, Aia Songsang, dan kegiatan Basafa ka Gunuang Bonsu, sebagai komoditi unggulan nagari mereka.

“Untuk itu, telah dibuat regulasi pendukung objek wisata, berupa Peraturan Nagari. Kemudian, juga dibuat MOU dengan Federasi Aero Sport dan Disbudparpor Limapuluh Kota, untuk menjadikan Taehbukik sebagai objek wisata paralayang representatif,” papar Datuak Sindo.

Taehbukik Sekarang.
Nagari Taehbukik memiliki empat jorong (setingkat desa/dusun di pulau Jawa). Masing-masing jorong dipimpin seorang kepala jorong yang membantu tugas-tugas Yon Wihadi Datuak Sindo, sebagai wali nagari atau pemimpin paling tinggi bidang pemerintahan.

Keempat jorong di Taehbukik adalah Jorong Pabatuangan yang dipimpin Ismarlis. Kemudian, Jorong Bukiktapuang dipimpin Wardiman, Jorong Talago dipimpin Asrajud Fuadi, dan Jorong Pogang yang dipimpin HR Datuak Pangulu Bosa.

Para kepala jorong di Taehbukik, selain intens berkordinasi dengan wali nagari, juga rajin  membangun komunikasi dengan Sekretaris Nagari Bentri Wirman, Kaur Pembangunan Syapri Warto, Kaur Pemerintahan SW Dt Karayiang, dan Kaur ADM Febrini Mulia.

“Kami aparatur nagari juga bahu-membahu dengan KAN yang dipimpin H Yayaspar Datuak Paduko Ahmad dan Bamus yang dipimpin Adrianus Datuak Pangka Sinaro. Selain itu, kami juga mendengar masukan-masukan dari Pak Alis Marajo Datuak Sori Marajo,” ungkap Datuak Sindo.

Menyinggung soal sektor pendidikan dan kesehatan, Datuak Sindo menjelaskan, Taehbukik memiliki 5 unit lembaga PAUD, 2 unit TK, 9 TPA, 4 SD, dan 1 SMP. Kemudian, Taehbukik mempunyai 5 Posyandu, 3 Poskesri, dan 1 Puskesmas Pembantu, dengan empat bidan desa.

Potensi pertanian padi di Taehbukik, didukung lahan seluas 207 hektare dan ditunjang 6 irigasi dengan kondisi baik. Sedangkan pada sektor perkebunan, nagari ini punya kebun gambir dan coklat seluas 50 hektare. Perkebunan cukup mendukung ekonomi masyarakat, disamping peternakan konvensional.

Bicara soal infrastruktur jalan, ruas jalan di Taehbukik hampir semuanya baik. Kecuali jalan dari Jorong Pogang menuju Jorong Pabatuangan sepanjang 5 kilometer yang kondisinya sudah banyak rusak. “Kami minta, Dinas Pekerjaan Umum dapat memperbaiki,” demikian Datuak Sindo.(*0