Mengenal Festival Hoyak Tabuik di Kota Pariaman

0
204

Pariaman adalah salah satu kota yang berada di Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat, tepatnya di pesisir pantai (Laut Hindia) sebelah utara kota Padang. Pariaman, yang berarti “daerah yang aman”, memiliki luas wilayah 73,36 kilometer persegi. Perayaan tabuik yang diselenggarakan setiap 1–10 Muharam adalah suatu upacara untuk memperingati meninggalnya Husein (Cucu Nabi Muhamad SAW) pada 61 Hijriah yang bertepatan dengan 680 Masehi. Cucu Nabi Besar Muhammad ini dipenggal kepalanya oleh tentara Muawiyah dalam perang Karbala di Padang Karbala, Irak. Kematian tersebut diratapi oleh kaum Syiah di Timur Tengah dengan cara menyakiti tubuh mereka sendiri. Ada beberapa versi mengenai asal-usul perayaan tabuik di Pariaman. Versi pertama mengatakan bahwa tabuik dibawa oleh orang-orang Arab aliran Syiah yang datang ke Pulau Sumatera untuk berdagang.

Sedangkan, versi lain (diambil dari catatan Snouck Hurgronje), mengatakan bahwa tradisi tabuik masuk ke Indonesia melalui dua gelombang. Gelombang pertama sekitar abad 14 M, tatkala Hikayat Muhammad diterjemahkan ke dalam Bahasa Melayu. Melalui buku itulah ritual tabuik dipelajari Anak Nagari. Sedangkan, gelombang kedua tabuik dibawa oleh bangsa Cipei/Sepoy (penganut Islam Syiah) yang dipimpin oleh Imam Kadar Ali. Bangsa Cipei/Sepoy ini berasal dari India yang oleh Inggris dijadikan serdadu ketika menguasai (mengambil alih) Bengkulu dari tangan Belanda (Traktat London, 1824). Orang-orang Cipei/Sepoy ini setiap tahun selalu mengadakan ritual untuk memperingati meninggalnya Husein. Lama-kelamaan ritual ini diikuti pula oleh masyarakat yang ada di Bengkulu dan meluas hingga ke Panian, Padang, Pariaman, Maninjau, Pidi, Banda Aceh, Melauboh dan Singkil. Dalam perkembangan berikutnya, ritual itu satu-persatu hilang dari daerah-daerah tersebut dan akhirnya hanya tinggal di dua tempat yaitu Bengkulu dengan sebutan Tabot dan Pariaman dengan sebutan Tabuik. Di Pariaman, awalnya tabuik diselenggarakan oleh Anak Nagari dalam bentuk Tabuik Adat. Namun, seiring dengan banyaknya wisatawan yang datang untuk menyaksikannya, pada tahun 1974 pengelolaan tabuik diambil alih oleh pemerintah daerah setempat dan dijadikan Tabuik Wisata. Sebelum upacara adat tabuik dilaksanakan, dilakukan pembuatan tabuik di dua tempat, yaitu di pasar (tabuik pasar) dan subarang (tabuik subarang). Kedua tempat tersebut dipisahkan oleh aliran sungai yang membelah Kota Pariaman. Dahulu, selama berlangsungnya pesta tabuik selalu diikuti dengan perkelahian antara warga dari daerah pasar dan subarang. Bahkan, ada beberapa pasangan suami-isteri yang berpisah dan masing-masing kembali ke daerah asalnya di subarang dan pasar. Setelah upacara tabuik berakhir, suami-isteri tersebut kembali berkumpul dalam satu rumah. Walaupun korban terluka parah dalam perkelahian, namun ketika acara berakhir mereka bersatu kembali, sehingga suasana kembali semula (tenang dan damai).

PELAKSANAAN PESTA TABUIK

(Dikutip dari Buku Sejarah Tabuik karya Asril Muchtar)

Pesta Tabuik pada awalnya diselenggarakan dari 1-10 Muharam (dalam rentang waktu 10 hari). Khusus pada 10 Muharam menjadi momentum waktu yang sangat penting sebagai upacara puncak Tabuik. Pada tanggal 10 Muharam itu, ada upacara yang diselenggarakan secara berurutan, yakni: tabuik naiak pangkek (pagi hari), maoyak tabuik (siang hari), dan tabuik dibuang ke laut atau mambuang tabuik (sore hari). Pelaksanaan pesta Tabuik pada masa itu, tidak tergantung pada hari minggu sebagai hari puncak, tetapi 10 Muharam yang dipentingkan, karena 10 Muharam merujuk pada peristiwa tewasnya Husain di Karbala yang bertepatan pada 10 Muharam 61 H (680 M).
Akan tetapi, sejak awal tahun 1980-an rentang waktu pelaksanaan pesta Tabuik mengalami penyesuaian, dengan tidak lagi berpatokan pada 10 Muharam sebagai hari puncak tabuik. Hari puncak tabuik disepakati bertepatan pada hari minggu dalam minggu kedua bulan Muharam. Kesepakatan ini mengakibatkan terjadi pula perubahan rentang waktu pelaksanaan pesta Tabuik menjadi 10, 11, 12, 13, bahkan 14 hari. Artinya, pelaksanaan pesta Tabuik tidak bisa lagi disebut dengan dari 1-10 Muharam. Kalau pun itu terjadi, tetapi dalam siklus waktu yang lama. Jadi sekarang, pesta Tabuik itu dilaksanakan sejak awal hingga paroh pertama bulan Muharam. Perubahan waktu ini seringkali tidak disadari oleh masyarakat, sehingga selalu mengatakan bahwa pesta Tabuik itu dilaksanakan dari tanggal 1-10 Muharam. Meskipun waktu perubahan itu telah terjadi sejak lebih dari 30 tahun yang lalu.

A. Ritual-ritual dalam Pesta Tabuik
Dalam setiap pelaksanaan pesta Tabuik ada dua tabuik dan kelompok pendukung tabuik, yaitu tabuik pasa dengan pusat aktivitasnya di Kampung Perak, sedangkan tabuik subarang dengan pusat aktivitasnya di Kampung Jawa, Kampung Pondok, dan Jawi-jawi (dapat berubah-ubah). Kedua tabuik ini menggambarkan kedua kelompok yang sedang berseteru. Namun, ia merupakan satu kesatuan dari pesta Tabuik yang terdiri pula atas beberapa rangkaian upacara (ritus). Upacara itu adalah: maambiak tanah, manabang batang pisang, maatam atau mahatam, maradai, maarak jari jari, maarak sorban, tabuik naiak pangkek, maoyak tabuik, dan mambuang tabuik atau tabuik dibuang ke laut.

1. Maambiak TanahUpacara maambiak tanah merupakan prosesi ritual mengambil tanah ke sungai. Prosesi ini dilakukan secara bersamaan oleh komunitas tabuik pasa dan tabuik subarang. Tabuik pasa mengambil tanah ke sungai kecil di Galombang, sedangkan tabuik subarang mengambil tanah di sungai Batang Piaman di Pauh. Prosesi ini dilakukan pada tanggal satu (1) Muharam pada sore hari, sesudah salat ‘ashar dan berakhir setelah salat maghrib.
Prosesi dimulai dari daraga masing-masing dengan iringan musik tradisi perkusi gandang tasa. Para peserta upacara berjalan sepanjang 1—1,5 km dari daraga ke lokasi mengambil tanah. Untuk membangun suasana menjadi sakral, di lokasi pengambilan tanah, dibentangkan kain putih yang ditaburi dengan bunga rampai (aneka kembang), kemudian dilakukan doa bersama, sebelum ritual mengambil tanah. Cara ini untuk pertama kali dilakukan pada pelaksanaan pesta Tabuik tahun 2012 (15-25 November 2012). Sebelumnya pelaksanaan upacara maambiak tanah dilakukan tanpa menggunakan kain putih, bunga rampai, dan berdoa di lokasi upacara. Ini merupakan suatu kemajuan untuk menggali kembali nilai-nilai kesakralan dalam pesta Tabuik.
Ritual mengambil tanah dilakukan oleh pawang, tuo tabuik, atau keluarga tabuik di dasar sungai dengan memakai pakaian putih-putih. Segumpal tanah yang diambil itu, kemudian dimasukkan ke dalam belanga/periuk dan dibungkus kembali dengan kain putih. Tanah yang diambil selanjutnya dibawa ke daraga masing-masing dan diletakkan di tempat “makam” atau “kuburan” Husain. Upacara maambiak tanah menggambarkan pengambilan mayat Husain yang masih tertinggal di Karbala dekat sungai Eufrat.
Waktu pengambilan tanah dilakukan sebelum atau sesudah salat maghrib, agar ibadah salat magrib tidak terganggu. Para tuo tabuik dan ninik mamak yang terlibat dalam upacara ini telah memosisikan dengan baik antara urusan keagamaan ibadah salat magrib tidak terlanggar dengan ritual maambiak tanah.
Berbeda dengan pengambilan tanah pada masa lalu yang sering dilakukan bertepatan dengan waktu azan magrib berkumandang dari masjid dan mushala. Waktu pelaksanaan seperti itu dianggap sudah menjadi tradisi yang diwarisi sejak dulunya seperti itu, sehingga tidak ada peserta upacara yang berani melakukan perubahan mengambil tanah menjadi sebelum atau sesudah magrib, dikarenakan takut menerima akibat karma yang bersifat gaib.

Sudah menjadi tradisi yang dilakukan setiap tahunnya, sebelum berangkat, peserta upacara berkumpul di daraga; mereka berdoa secara bersama. Kemudian me-limaui atau menyiraminya peserta upacara dengan air kembang termasuk gandang tasa. Pensakralan ini sangat diperlukan, dan secara sipritual diyakini selama upacara Tabuik berlangsung suara gendang dapat menggugah dan membangkitkan semangat para pendukung upacara. Cara-cara seperti ini selalu dilaksanakan pada pelaksanaan pesta Tabuik pada masa lalu.

Pada hari kedua, ketiga, dan keempat (2-4 Muharam), tidak ada kegiatan upacara, kecuali para tukang tabuik membuat kerangka tabuik bagian bawah dan pembuatan burak. Menurut Ph. S. van Ronkel, hari ini disebut gam atau hari berkabung. Kata gam dalam pengucapan orang Persia berasal dari kata gramm orang Hindustan yang berarti kesedihan. Selama hari gam itu sebagian orang menunjukan rasa dukanya dengan tidak tidur selama tiga hari empat malam. Mereka memainkan musik dengan lagu Matam Saraj di samping daraqah atau daraga (van Ronkel, 1914:337-338). Pada masa sekarang tidak ada yang mengenali lagi hari gam itu di kalangan masyarakat Pariaman, dan ekspresi rasa duka pun tidak tercermin, baik dalam bentuk suasana maupun dalam bentuk tindakan. Hilangnya hari gam dalam upacara Tabuik diperkirakan sudah berlangsung lama, sehingga tidak ada yang mengenalnya lagi.
2. Maambiak/Manabang Batang Pisang

Manabang batang pisang sering juga disebut maambiak batang pisang (mengambil batang pisang). Akan tetapi, akhir-akhir ini sebutan maambiak batang pisang sudah hilang, dan tidak digunakan lagi. Menurut Ph. S van Ronkel dalam artikelnya, “Nadere gegevens omtrent het Hasan-Hoesain feest”, yang dimuat dalam majalah ilmiah Tijdschrift voor Indische Taal—Land—, en Volkenkunde terbitan pada tahun 1914 menyebutkan, bahwa batang pisang yang akan ditebang sebelumnya diambil di suatu lokasi oleh beberapa orang pemuda sebagai gambaran mencari jenazah Husain. Pada masa lalu kegiatan ini dikerjakan oleh beberapa orang berhiaskan atau berpakaian cimuntu yang dilakukan oleh para pemuda dan anak-anak yang memakai topeng atau wajahnya yang dihiasi dengan cat (van Ronkel, 1914:339). Setelah batang pisang didapatkan oleh para pemuda tersebut, kemudian ditanamkan kembali di lokasi penebangan batang pisang.
Cara mengambil batang pisang dengan berpakaian cimuntu sudah lama hilang dalam pelaksanaan pesta budaya Tabuik. Tidak ada informasi lisan yang dapat memberikan penjelasan pelaksanaan seperti ini. Kecuali, sumber tertulis yang dibuat oleh Ph. S. van Ronkel di atas. Di satu sisi, cara mengambil batang pisang dengan berpakain cimuntu ini, bisa saja menjadi bagian ritual yang menarik juga untuk dilakukan kembali.
Syafruddin Auang tuo tabuik subarang memberikan penjelasan pula berkaitan dengan ritual ini, bahwa pada masa lalu ritual ini disebut dengan maambiak batang pisang. Prosesi maambiak batang pisang yang dimaksudkan adalah setelah batang pisang-batang pisang itu ditebang kemudian diambil oleh anak-anak dan dibawa ke daraga selanjutnya ditegakkan dalam daraga dan kubah.
Perubahan sebutan pada ritual ini dapat saja terjadi. Melihat aktivitas yang dilakukan pada ritual ini lebih menonjolkan dan bahkan menjadi fokus perhatian oleh pawang/tuo tabuik adalah menebang batang pisang yang diawali dengan persiapan doa dan pengasapan pedang jinawi. Setelah itu dilakukan ritual menebang pisang, oleh karena manabang batang pisang menjadi fokus ritual, maka sebutannya berubah menjadi ritual manabang batang pisang.
Manabang batang pisang merupakan prosesi ritual menebang beberapa batang pisang, puncak dari ritual ini dilanjutkan dengan adegan perkelahian antara kedua pendukung tabuik. Upacara manabang batang pisang dilakukan secara bersamaan oleh komunitas tabuik pasa dan komunitas tabuik subarang. Lokasi penebangan untuk tabuik pasa bertempat di Galombang, sedangkan tabuik subarang bertempat di Lohong atau Kampung Kaliang. Rombongan prosesi membawa jarabbuka, bendera, tabuik lenong, dan pedang jinawi serta diiringi dengan gandang tasa. Prosesi dimulai dari daraga masing-masing.
Setelah sampai di lokasi penebangan batang pisang yang bertepatan pula dengan salat magrib, tampak orang-orang yang ingin menyaksikan upacara telah melingkupi lokasi itu. Mereka ingin menyaksikan upacara menebang batang pisang dari dekat. Seluruh peserta prosesi berhenti sejenak di depan lokasi penebangan, tabuik lenong diletakkan di tengah-tengah batang pisang. Suasana hening sejenak untuk melakukan doa memusatkan konsentrasi dan mencari saat sakral yang tepat, sementara pawang mengasapi sekujur pedang jinawi.
Batang pisang ditanam berjejer 3 – 4 batang, adakalanya juga ditanamkan batang tebu. Di lokasi penebangan batang pisang Tabuik pasa (Galombang), biasanya yang ditanam hanya batang pisang saja, sedangkan di lokasi tabuik subarang (Lohong/Kampung Kaliang) selain batang pisang juga ditanami beberapa batang tebu. Batang pisang ditebas oleh seseorang dengan berpakaian silat. Ia menggunakan pedang jinawi yang telah diasapi dengan kemenyan, yang dipercayai memiliki daya magis dan ketajaman. Batang-batang pisang itu harus putus dengan sekali tebasan. Penebasan batang pisang itu dilakukan dengan penuh ekspresif dan beringas sebagai pelampiasan ekspresi heroik yang menggambarkan ketajaman pedang Husain membunuh musuh dalam perang Karbala. Bahkan, sebaliknya peristiwa ini bisa pula mengingatkan kita kepada Ziad bin Syarik Attamimi—algojo padang Karbala yang menebas Husain dengan pedangnya.
Ritual manabang batang pisang

Selesai upacara manabang batang pisang, para peserta prosesi disuguhi minuman sorbat yaitu campuran jahe dan gula merah atau aren sebagai minuman khas pesta Tabuik. Minum sorbat lebih sering dilakukan oleh komunitas tabuik subarang. Potongan batang pisang itu kemudian dibawa oleh anak-anak ke daraga masing-masing dan ditanamkan bersama dengan jarabbuka, dan bendera di replika “makam” Husain, sedangkan tebu diperebutkan oleh anak-anak dan para penonton. ‘Adegan’ itu bagaikan presentasi simbolik tentara Yazid yang merampas harta keluarga Husain.
Sesudah upacara manabang batang pisang, semua peserta prosesi kembali pulang ke tempatnya masing-masing. Pada saat perjalanan pulang, setiap kelompok prosesi harus melewati Simpang Tugu Tabuik. Kelompok mana saja yang lebih dulu tiba di Simpang Tugu Tabuik, mereka harus menunggu rombongan prosesi yang satu lagi. Peserta prosesi yang tinggal di Simpang Tugu Tabuik hanyalah anak-anak tabuik yang remaja dan dewasa beserta ninik mamak dan tokoh masyarakat mereka masing-masing, sedangkan peserta yang lain melanjutkan perjalanan ke daraga.
Ketika kedua rombongan telah berada di Simpang Tugu Tabuik, mereka mengambil tempat dengan jarak sekitar 50 hingga 100 meter, masing-masing membunyikan gandang tasa sebagai upaya untuk menggalang semangat dan tenaga. Kedua rombongan akan melakukan suatu bagian upacara yang disebut basalisiah dan bacakak. Masyarakat kota dan sekitarnya ingin menyaksikan perkelahian yang akan terjadi antara anak tabuik subarang dengan anak tabuik pasa.
Pada saat basalisiah inilah, dilakukan “adegan” perkelahian atau bacakak antara komunitas tabuik pasa dengan tabuik subarang. Perkelahian menjadi bagian dan tuntutan upacara serta merupakan representasi simbolik perang Karbala. Mereka melakukannya dengan sungguh-sungguh, dan yang lebih dipentingkan di sini adalah semangat dan tujuan dari upacara, serta muatan heroiknya lebih ditonjolkan. Berbagai penafsiran muncul dalam pelaksanaan bacakak ini, seperti penafsiran yang menggambarkan saat-saat Husain dipancung oleh tentara Yazid dan kecurangan yang dilakukannya. Perkelahian ini akhirnya dilerai oleh ninik mamak dan para pemuka masyarakat kedua belah pihak.
Bagi masyarakat umum, bacakak merupakan bagian upacara yang mereka tunggu-tunggu dan saksikan, jika pesta Tabuik tidak menyajikan perkelahian, maka upacara dianggap “dingin.” Salah satu unsur terpenting yang memicu perkelahian itu adalah dentaman suara gandang tasa dengan lagu Sosoh yang sangat ekspresif. Upacara ini dilaksanakan pada tanggal 5 Muharam sekitar dari pukul 17.00 – 20.30.

3. Maradai

Maradai merupakan prosesi yang bertujuan mengundang simpati masyarakat untuk menyumbangkan dana atau apa saja yang bisa membantu biaya pembuatan tabuik. Maradai tidak termasuk bagian ritual-sakral. Prosesi ini dilaksanakan pada sore hari tanggal 6 Muharam dengan membawa tabuik lenong yang diarak sekitar pusat kota sambil diayun ke kiri dan ke kanan dengan berbagai gerakan, seperti misalnya gerakan yang dilakukan pada upacara mahoyak tabuik. Mereka berhenti di depan rumah, toko, kedai, restoran, dan rumah makan di sepanjang jalan yang dilalui untuk meminta sumbangan. Akan tetapi, sejak satu dekade terakhir ini, maradai sudah sering dilaksanakan setelah upacara maatam. Misalnya, menjelang upacara maarak jari-jari.

Tradisi semacam maradai ini juga dilakukan di Iran. Menurut Mohammad Ali Rabbani, tradisi yang ada di Iran, biasanya orang-orang atau masyarakat berbondong-bondong mewakafkan tanah atau tempat, dan hasil tanah perkebunan mereka disumbangkan untuk keperluan perayaan Asyura. Dengan ikut menyumbang, seolah-olah mereka mendapatkan imbalan yang setimpal dari Allah SWT.
Dibandingkan dengan besar dan bentuk sumbangan yang diberikan masyarakat Iran dengan masyarakat Pariaman, agaknya belum seberapa yang diberikan oleh masyarakat atau individu orang Pariaman dalam memberikan sumbangan pada saat maradai. Bagi individu atau masyarakat Pariaman, tampaknya sumbangan tidak diukur dari besar kecil bentuk dan jumlahnya, tetapi yang lebih penting adalah sato sakaki (terlibat) dalam setiap pesta Tabuik, sebagai rasa tanda peduli dan memiliki. Maradai juga kehilangan makna dan eksistensinya sejak biaya pembuatan tabuik telah ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah kota Pariaman. Namun sebagai bagian dari tradisi dalam pesta Tabuik, maradai tetap dilakukan.
4. Turun Panja
Upacara turun panja adalah penurunan segala alat-alat terutama jari-jari yang selama ini disimpan sehabis pelaksanaan pesta Tabuik tahun lalu untuk dibersihkan, disucikan, dibedaki, dan diberi harum-haruman, kemudian disusun dalam suatu wadah yang dihiasi dengan bunga. Panja atau jari-jari yang disusun ini pada besok malam akan diarak keliling kampung di sekitar kawasan utama pesta Tabuik pada prosesi maarak jari-jari. Turun panja dilaksanakan pada tanggal 6 Muharram pada malam harinya setelah salat Isya.
Adapun istilah panja yang dimaksud berasal dari bahasa Persia, yaitu panjah yang berarti tangan direntang dengan lima jari (van Ronkel, 1914). Upacara ini menggambarkan jari-jari Husain yang berserakan di Karbala, lalu dikumpulkan, dan selanjutnya disimpan di suatu tempat. Pada masa lalu jari-jari itu terbuat dari emas dan perak yang disimpan sepanjang tahun di loteng rumah tabuik. Namun sekarang, hanya dibuat tiruannya saja dari seng atau kertas, disebabkan sulit menjaga dan mengawasi panja yang terbuat dari emas dan perak itu. Jari-jari ini hanya diturunkan pada masa pesta Tabuik tiba, benda ini dibungkus dengan kain putih dan disimpan dengan rapi.

5. Maatam

Maatam adalah prosesi yang menggambarkan kesedihan atas penderitaan yang dialami oleh Husain pada saat pembataian atas dirinya di Karbala. Prosesi dilakukan dengan mengitari ‘makam’ Husain yang diiringi dengan gandang tasa lagu Maatam bertempo lambat, dengan pola ritme sederhana, pukulan satu-satu tanpa variasi untuk mendukung kesan sedih. Maatam berasal dari bahasa Persia mahatam, yang berarti nyanyian kesedihan.
Upacara maatam dilakukan setelah salat zuhur pada tanggal 7 Muharam. Beberapa saat sebelum upacara dimulai, kelompok pemusik gandang tasa memainkan lagu-lagu gandang tasa untuk membangun suasana. Peserta yang terlibat dalam upacara maatam adalah keluarga tabuik dari masing-masing rumah tabuik terutama ibu-ibu, kemudian diikuti oleh pawang tabuik, tokoh masyarakat, dan para pemuda. Maatam dilakukan di daraga masing-masing. Ibu-ibu berusaha menghayati kepedihan yang dimaksudkan dalam upacara. Pada masa lalu, konon maatam dilakukan sambil menangis oleh ibu-ibu. Namun, pada akhir-akhir ini lebih banyak diungkap dengan ekspresi wajah duka atau sedih saja.
Ritual dalam daraga dilakukan dengan menyuarakan kata-kata “Husen, Husen, Husen,” kadang-kadang menyebut Hasan, Husen, Hasan Husen atau hoyak Husen” dengan suara pelan. Ritual ini dilakukan dengan khidmat, sesekali menaburkan beras kuning (sesajen) dan wewangian dalam daraga. Selesai mengitari ‘makam’ Husain, pawang memimpin doa bersama sebagai penutup upacara. Isi doa yang disampaikan adalah doa asyura (10 Muharam) dan keselamatan terhadap keluarga Nabi Muhammad saw.
Pada masa lalu ada doa yang dibacakan dalam bahasa Cipai. Ronkel (1914) mengutip beberapa teks doa yang diperkirakan sebagai doa penutup dalam upacara maatam, dalam bahasa Cipai dan Arab.

Bismillah’ irramani’ rrahim ila arwah rasoel Allah thoema arwah al-Hasan wa’ l-Husain wa Fatimah al-Zoehra wa’ l- Maidani wa Abdolkadir Djilani wa’l-‘Aisjahlillahh al-fatihah.
Boedi pak soeltan anbija zain al akti koetoeb al oeli inam
Zahir jenoe toerpihoem saki kapaha Hasan wa’ lhoesain sapijah koadji amat daroedji sesa salbari.

Pada masa lalu, kata-kata yang diucapkan dalam doa tidak hanya dalam bahasa Minangkabau saja, tetapi juga dalam bahasa Urdu, namun banyak yang tidak tahu lagi bentuk teks dalam bahasa Urdu tersebut. Ada beberapa teks bahasa Urdu yang dikutip oleh van Ronkel sebagai berikut.

Boerkata radjane klah
Koetsj hoeta haidare
Sadidja katlihoet ja rasoel
Ti galiga poek galiga
Djandjata haidare
Rit tjaloe mati mandjila
hem brengen samhoeta haidare

(Lihat raja kita,
semua bersiap
saya hanya menantimu ya Rasul,
ambilah peluit, tiuplah peluit,
jiwaku pergi bagaimana kini,
hari telah tiba, izinkan kami membawanya ke
padang).

Maatam berlangsung sekitar setengah hingga satu jam. Jika suasana maatam dianggap sudah selesai, maka suasana berubah menjadi gembira. Gandang tasa berubah tempo dari lambat menjadi cepat, suaranya pun berubah pula menjadi keras. Para peserta ritual maatam tampak menjadi lebih gembira, bahkan mereka bisa berjoget sebagai bentuk ungkapan kegembiraan. Selesai ritual maatam dilanjutkan dengan makam nasi kebuli bersama-sama. Nasi kebuli merupakan salah satu ciri khas makanan yang disajikan pada upacara maatam.

6. Mengarak Jari-jari
Upacara mengarak jari-jari dilakukan dengan melintasi berbagai kampung sebagai gambaran keganasan tentara Yazid. Mengarak jari-jari ditujukan untuk mengundang rasa simpati dan kedukaan kepada orang banyak, karena jari-jari diusung itu digambarkan sebagai jari-jari Husain yang terpisah dari tubuhnya. Upacara ini dilaksanakan pada malam hari setelah shalat magrib tanggal 7 Muharam sebagai kelanjutan dari upacara maatam. Prosesi mengarak jari-jari dilakukan oleh kedua pendukung tabuik dengan mengambil lokasi di daerah sendiri dan di daerah ‘lawan’. Ketika mereka hendak kembali ke daerah masing-masing, keduanya bertemu lagi di Simpang Tugu Tabuik untuk basalisisah (berpapasan). Saat ini terjadi kembali perkelahian. Perkelahian pada saat ini tidak kalah serunya dengan yang terjadi pada upacara manabang batang pisang. Perkelahian tersebut pada saatnya dilerai oleh ninik mamak dan pemuka masyarakat kedua belah pihak.

7. Mengarak Sorban

Ritual mengarak sorban atau turban merupakan penggambaran kembali dari para pengikut Husain setelah menemukan sorban Husain. Tujuan dari ritual ini adalah untuk menciptakan semangat dan mengangkat harga diri serta mendorong keinginan untuk membela kebenaran, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Husain dalam berperang mempertahankan haknya. Ritual mengarak sorban atau turban merupakan representasi dari tindakan para pengikut Husain setelah menemukan sorban Husain.
Seperti halnya dalam ritual mengarak jari-jari, maka dalam ritual mengarak sorban terjadi pula perkelahian di Simpang Tugu Tabuik antara kedua rombongan prosesi ketika hendak kembali pulang. Rangsangan perkelahian itu dipicu oleh suara gandang tasa untuk membangkitkan semangat heroik. Perkelahian dalam upacara mengarak sorban merupakan puncak dari perkelahian-perkelahian pada ritual sebelumnya. Diperkirakan partisan-partisan yang tidak terdaftar sebelumnya ikut pula berpartisipasi pada saat ini, sehingga melibatkan banyak orang. Tak terkecuali juga masyarakat kota Pariaman dan sekitarnya, bahkan dari daerah lain pun turut menyaksikan upacara ini, sehingga menambah riuh dan tegangnya suasana. Kesempatan ini sering pula dimanfaatkan untuk ‘balas dendam’ terhadap anak-anak tabuik, atau sesama anak-anak tabuik.
Perkelahian bisa tidak dilakukan berdasarkan kesepakatan para tuo tabuik, ninik mamak, dan penanggung jawab upacara, bila akan menimbulkan bahaya. Diduga akibat perkelahian-perkelahian sebelumnya membawa muatan balas dendam. Sebagaimana diungkapkan: ”Sibungsu indak baradiak lai—sabuang salapeh hari patang.” Ungkapan ini mengandung muatan, jika dalam perkelahian sebelumnya ada korban luka atau kena pukulan, dianggap pada waktu inilah kesempatan untuk membalaskan “dendam.” Ini merupakan perkelahian terakhir, tidak ada kesempatan lagi untuk membalaskan dendam, kecuali hanya pada perayaan Tabuik tahun berikutnya.
8. Tabuik Naiak Pangkek
Upacara tabuik naiak pangkek adalah upacara penggabungan pangkek bawah dengan pangkek ateh, yang sebelumnya dibuat terpisah. Upacara ini dilakukan pagi hari setelah salat subuh hingga pukul 09.30 pagi pada hari terkahir pesta Tabuik. Upacara ini dilaksanakan di lokasi tabuik pasa dan tabuik subarang pada waktu yang bersamaan. Ketika upacara ini selesai, dan tabuik telah berwujud utuh menjadi tabuik gadang (tabuik besar), kemudian dibawa ke jalan besar dan secara resmi dipertontonkan kepada masyarakat. Tabuik pasa ditegakkan di perempatan pasar Pariaman, sedangkan tabuik subarang ditegakkan di Simpang Tugu Tabuik. Selama upacara itu berlangsung, gandang tasa dibunyikan di kedua tempat upacara.
Proses tabuik naiak pangkek dilakukan dengan dua cara yang berbeda antara tabuik pasa dengan tabuik subarang. Pelaku upacara tabuik pasa masih mempertahankan cara penggabungan pangkek bawah dengan pangkek ateh dengan cara lama, yaitu mengangkat pangkek ateh secara bersama-sama menggunakan tiang-tiang penyangga, kemudian memasangkan ke pangkek bawah. Proses penggabungan ini cukup menegangkan, karena bangunan pangkek ateh cukup tinggi dan berat sehingga diperlukan tali dari empat penjuru yang ditarik oleh beberapa orang untuk menjaga keseimbangannya agar tidak rebah. Cara yang dilakukan oleh tabuik pasa masih mempertahankan tradisi tabuik naiak pangkek. Proses penggabungan ini menjadi tontonan yang menarik dan mendebarkan bagi orang-orang yang menyaksikan.

Sementara tabuik naiak pangkek pada tabuik subarang dilakukan secara simpel dan praktis. Para pelaku upacara meletakkan pangkek ateh di atas mobil truck tiper dengan posisi miring, sedangkan pangkek bawah diletakkan di belakang mobil dengan posisi miring juga, kemudian kedua pangkek ini digabungkan. Cara penggabungan pada tabuik subarang ini tidak mendebarkan, dan kecil kemungkinan akan terjadi kecelakaan. Cara ini sudah meninggalkan tradisi ritual tabuik naiak pangkek.

9. Maoyak Tabuik

Upacara maoyak tabuik merupakan upacara puncak dari seluruh rangkaian upacara Tabuik yang dibuat dalam bentuk prosesi besar yang dirancang sebagai pemakaman untuk mengenang kembali pemakaman Husain. Upacara maoyak tabuik ini dilaksanakan sekitar 12.30 atau sesudah shalat zhuhur. Masing-masing tabuik diletakkan di jalan utama kota Pariaman dengan jarak sekitar 100-200 meter. Menjelang upacara dimulai, penampilan gandang tasa dan kesenian lainnya disajikan untuk memeriahkan suasana.
Pelaksanaan upacara maoyak tabuik merupakan upacara yang paling khusus di antara rangkaian upacara lainnya. Pelaksanaan upacaranya selalu dibuka secara resmi oleh pejabat pemerintah, seperti oleh gubernur atau menteri dari bidang kebudayaan dan pariwisata. Pembukaan itu dihadiri oleh berbagai tamu penting dari kalangan pejabat daerah se-Sumatra Barat, dari Jakarta, tokoh masyarakat Pariaman, dan dari luar negri. Bahkan pernah pula dihadiri oleh Duta Besar Republik Islam Iran di Jakarta.
Hoyak Tabuik yang berarti aktivitas yang berkaitan dengan tabuik gadang seperti, meng-hoyak, mengoyangkan, memutar, merebahkan, dan termasuk membawa berlari merupakan sajian-sajian atraktif dari upacara mahoyak tabuik. Pertunjukan ini didukung oleh gandang tasa yang memainkan lagu Oyak Tabuik dan Sosoh. Lagu ini bertempo cepat, dinamik keras, dan sangat enerjik, sehingga sangat mudah merangsang semangat para pengusung tabuik dan para pendukung tabuik lainnya. Para pengusung tabuik itu memberikan reaksi dengan cara menggoyang-goyangkan tabuik, merebahkan, dan bahkan membawanya berlari menuju tabuik yang satu lagi sambil menyuarakan “hoyak Hosen, hoyak Hosen, hoyak Hosen, Hasan, Hosen”, yang dilakukan berulang-ulang secara bersama-sama dengan suara lantang dan keras. Aksi seperti itu dilakukan oleh kedua pengusung tabuik dengan cara bergantian, dikarenakan adanya unsur saling menyerang antara yang satu dengan yang lainnya.

Pada masa lalu aksi-aksi seperti itu tidak hanya dipicu oleh bunyi gendang, tetapi ditambah dengan sindiran yang bersifat sarkasme dan caci maki yang kasar. Mereka akan membawa simbol-simbol yang dekat dengan kehidupan sehari-hari, seperti misalnya pengusung tabuik pasa akan membawa sabit dan garondong, yaitu tempat meletakan rumput, sebagai sindiran bagi pendukung tabuik subarang yang masyarakatnya banyak bekerja sebagai petani. Sebaliknya, dari tabuik subarang mereka akan membawa pancing dan ikan sebagai sindiran bagi tabuik pasa, yang masyarakatnya secara umum adalah nelayan. Adegan di atas bagaikan drama kolosal yang mempresentasikan perang artifisial antara Husain dengan pihak Yazid. Para pengunjung jumlahnya ribuan, mereka secara tidak langsung telah menjadi bagian dari upacara tersebut.
10. Tabuik Tabuang
Upacara tabuik tabuang atau mambuang tabuik merupakan upacara terakhir, yakni berupa prosesi membuang tabuik ke laut. Pada sore hari setelah tabuik dihoyak, kedua tabuik itu diusung menuju Pantai Gandoriah. Para penonton turut serta mengiringi tabuik hingga ke pantai, seakan-akan mengiring jenazah ke pemakaman. Sementara pengunjung lain telah berdesak-desakan menunggu di pantai. Tabuik yang pertama diusung ke tepi laut adalah tabuik pasa kemudian tabuik subarang mengiringi dari belakang. Menjelang matahari terbenam tabuik pertama tiba di pantai, selanjutnya dibawa ke laut dan direbahkan, kemudian diikuti pula oleh tabuik kedua dengan cara yang sama. Ada juga yang dilakukan secara bersamaan.

Saat tabuik direbahkan dalam laut, para pengunjung berebut mengambil berbagai benda yang ada pada tabuik, sebagai kenang-kenangan. Bahkan ada yang percaya bahwa benda-benda itu dapat dijadikan sebagai media pelaris dagangan dan penyubur tanaman. Untuk mendapatkan “souvenir” puing-puing tabuik itu, para “pemburunya” berupaya lebih duluan mandi-mandi di laut, agar lebih mudah mendapat benda-benda yang berasal dari tabuik.

Upacara tabuik tabuang merupakan gambaran mengantarkan jenazah Husain ke pemakaman, sementara arwahnya dibawa terbang oleh burak ke angkasa atau “surga.” Pelarungan tabuik ke laut menandakan berakhirnya seluruh rangkaian pesta Tabuik. Semua peristiwa yang terjadi selama pesta Tabuik berupa ketegangan-ketegangan emosi, cidera, dendam, dan amarah lenyap pula bersama tenggelamnya tabuik di laut. Mambuang tabuik juga berarti membuang semua ketegangan dan perselisihan yang terjadi selama pelaksanaan pesta Tabuik.