Masjid Asasi

0
127

Siang masih terik. Jalan menuju kelurahan Sigando nagari Gunuang, Kecamatan Padangpanjang Timur yang banyak tanjakan membuat mesin motor meraung miris. Namun semangat untuk mencapai Sang legenda “Masjid Asasi” yang mendengung-dengung di telinga beberapa hari belakangan membuat halangan itu seperti tak berarti. Pukul 11.40 WIB, penulis akhirnya sampai di sebuah tikungan bersimpang tajam yang lengang dari kendaraan bermotor. Persimpangan arah ke kanan langsung terlihat sebuah gerbang bertuliskan Masjid Raya Asasi. Tak sabar untuk mengunjungi sang legenda, penulis langsung melewati gerbang itu sembari menyapai sekelompok tetua yang terlihat masih duduk di lepau kopi.

“Kasinan arah masajik pak?” tanya penulis. Orang-orang tua itu langsung mengangguk.

Benar saja, tak berapa jauh dari simpang, sebuah bangunan antik yang kaya dengan ukiran berdiri dengan anggunnya. Semula penulis sempat dibuat bingung sebab sekilas arsitektur dan ukiran yang meliliti sisi-sisinya membuat bangunan itu lebih mirip rumah adat ketimbang masjid. Setelah mendapati gerbang masuk sebagai penanda fungsinya sebagai tempat peribadatan, barulah penulis yakin bahwa sang legenda memang sedang berada di depan mata.

Di depan gerbang terdapat sebuah “gaduang” bergaya Belanda dengan dinding beton serba tebal. Sekelompok orang tua duduk menunggu azan Jumat. Adalah Faisal Jamil (54), salah satu dari orang tua-tua itu yang penulis temui untuk menelisik sejarah masjid tersebut.
“Masjid ini masih dipertahankan sesuai dengan bentuk aslinya, kecuali pagar, belum ada yang berobah. Masjid ini didirikan oleh masyarakat dari 4 koto, yaitu dari daerah Gunuang, Paninjauan, Jaho, dan Tambangan,” ungkap Faisal. Dikatakan, nama Asasi berasal dari kata Asas, yang berarti landasan atau awal. “Masjid ini adalah awal dari terbentuknya masyarakat 4 koto yang kini sudah semakin berkembang,” sebutnya.

Penelisikan sempat terhenti beberapa saat karena azan shalat Jumat mengundang jamaah untuk memenuhi ruang masjid. Penulis bergabung bersama mereka; beribadat sembari menikmati kesejukan uara dalam masjid tua itu. Ibadah berjalan begitu khusyuk hingga imam mengakhirinya dengan salam penutup.

Salah seorang pengurus masjid Asrul efendi (40) menjadi pembuka gerbang sejarah berikutnya. Lelaki yang membuka usaha pangkas di sebelah masjid itu mengatakan, tahun berdirinya masjid hingga kini masih menjadi bahan perdebatan antara berbagai kalangan, baik peneliti maupun warga 4 Koto sendiri. “Menurut buku terbitan Kerapatan Adat Nagari, masjid ini berdiri pada tahun 1770, namun dahulu seorang peneliti asal Belanda yang membawa referensi buku sejarah terbitan negaranya mengatakan masjid ini berdiri pada tahun pada tahun 1685. Entah mana diantara kedua versi itu yang benar, masih sedang di selidiki,” ungkap Asrul.

Asrul mengatakan, masjid Asasi pernah di jadikan sebagai basis pengembangan Islam terutama untuk mengembangkan Madrasah Thawalib Gunuang. “Awalnya, lembaga pendidikan tersebut berlokasi di sekitar masjid, namun kini sudah di pindahkan diatas. Tokoh-tokoh seperti Buya Hamka pernah menggelar pengajian disini,” katanya.

Dikatakan, Masjid Asasi memiliki 3 motif ukiran dari aliran yang berbeda. Aliran Hindu, China, dan Minang mendominasi setiap dinding masjid. 2 tingkap dibawah atap joglo tetap dibiarkan asli meskipun bagian dinding sudah diganti dengan mempertahankan ukiran aslinya.
“Menurut sejarah yang saya terima, kayu yang dipakai untuk membangun masjid ini adalah kayu Madang yang kerasnya melebihi kayu Tembesi. Dahulu, masyarakat dari 4 Koto bahu-membahu mengumpulkan bahan kayu dari hutan Rimbo Aia Ilang. Tonggak tuo yng terletak di tengah masjid merupakan kayu utuh yang mengundang tanda tanya;entah bagaimana masyarakat weaktu itu menggondol kayu sebesar itu keluar dari rimba,” beber Asrul.

Di dalam masjid, tepatnya di ruang belakang terdapat sekumpulan benda kuno diantaranya brangkas peninggalan belanda yang kono masih bisa difungsikan, serta beberapa lembar sisa tafsir alqur’an kuno yang masih ditulis dengan huruf arab melayu. “Dahulunya tanah masjid ini adalah milik seorang bernama Datuak Nan Kayo. Awal dibangun, Masjid ini bernama Surau gadang. Dalam perkembangannya, 1955-an, masjid ini pernah di gunakan sebagai basis partai Masyumi,” ungkap Asrul.

Kekuatan arsitektur masjid pernah diuji oleh 2 gempa besar yang melanda derah tersebut pad tahun 1927, dan 2007 lalu. Keduanya tak membuat masjid itu bergeming dari posisinya. “Alhamdulillah, pasca gempa 2007 lalu, masjid kami masih kuat berdiri. Dahulunya, atap masjid masih berbahan ijuk, dan kini di ganti seng,” kata Asrul.

Warna mistik juga sering menghinggapi masjid Asisi. Salah seorang warga yang pernah menjadi tukang rehabilitasi masjid, mengkau pernah di datangi seorang tua ketika ia bekerja siang hari. “orang tua itu saya tanyai pasal tahun pendirian masjid. Ia mengatakan masjid ini berdiri pada tahun 1600-an. Usai bekerja di luar, saya kembali masuk kedalam measjid untuk meneuinya. Tapi alangkah anehnya, orang tua itu sudah tidak ada lagi di dalam masjid. Konon, Orang tua itu memang penghuni tetap dalam masjid, yang kerap bersemedi di tiang tengah yang besar itu,” beber warga tesebut.

Ketika hari beranjak sore, keindahan masjid asasi semakin menyembur. Ukiran-ukiran yang di taburi warna merah, hitam, kuning, dan biru seakan menantang ketidak abadian sejarah yang kini merajai banyak daerah. Namun keterbatasan waktu membuat penulis terpaksa berkemas untuk meninggalkan Sang Legenda dengan rasa penasaran yang justru semakin mendalam.(*)