PADANG PANJANG – “Ini adalah kota yang berbahagia,” demikian tulis AA Navis, pengarang Robohnya Surau Kami yang fenomenal itu. Navis melanjutkan, “Di sana ada batu kapur yang memberi hidup, ada sawah, ada sungai yang memberi hidup, ada rel kereta yang memberi hidup”.
Selain A.A Navis, Akhyari Hananto seorang penikmat wisata di negara ini, baru baru ini menuliskan ketakjubannya terhadap Padang Panjang yang kini dipimpin Walikota Hendri Arnis.
Seperti dituliskannya di media sosial internet Beta GoodNews From Indonesia, Dia memulai dengan sebuah pertanyaan. Tempat apa yang terlintas di benak anda ketika mendengar nama Sumatera Barat atau Ranah Minang?
“Sebagian besar mungkin akan menjawab Padang atau Bukittinggi sebagai dua nama yang selalu terngiang pertama kali,” tulisnya.
Disebutkan, kota ini dikelilingi pegunungan dengan pohon-pohon menjulang dari hutan primer yang hijau. Kota dengan wilayah terkecil di Sumatera Barat ini berada di daerah ketinggian yang terletak antara 650 sampai 850 meter di atas permukaan laut, berada pada kawasan pegunungan yang berhawa sejuk dengan suhu udara maksimum 26.1 °C dan minimum 21.8 °C, dengan curah hujan yang cukup tinggi dengan rata-rata 3.295 mm/tahun.
“Inilah salah satu kota yang alamnya bernuansa pedesaan. Udaranya bersih. Masyarakatnya ramah. Setiap pejabat daerah lain yang melakukan kunjungan kerja ke Padang Panjang, pasti memuji keindahan alam dan keramahan warga kota ini,” kata walikota.
Di bagian utara dan agak ke barat Padang Panjang berjejer tiga gunung: Gunung Marapi, Gunung Singgalang dan Gunung Tandikat yang menjulang.
Kota ini punya banyak julukan. Selain kota hujan, masyarakat Padang Panjang sangat bahagia dengan sebutan Kota Serambi Mekkah.
Pada masa lalu, Belanda menyebut Padang Panjang dengan Egypte van Andalas (Mesir di Tanah Sumatera). Disebut Kota Pendidikan karena banyaknya institusi pendidikan dan sejarah panjang bagaimana kota ini memerankan peran pendidikan sejak masa lalu.
Sebelum zaman penjajahan, Padang Panjang merupakan bagian dari wilayah Tuan Gadang di Batipuh, pada masa Perang Padri kawasan ini diminta Belanda sebagai salah satu pos pertahanan dan sekaligus batu loncatan untuk menundukan kaum putih yang masih menguasai kawasan Luhak Agam.
Selanjutnya Belanda membuka jalur jalan baru dari kota ini menuju Kota Padang karena lebih mudah dibandingkan melalui kawasan Kubung XIII di Kabupaten Solok sekarang.
Sejak zaman kolonilal pula, Padang Panjang memainkan peran penting sebagai tempat persinggahan dan menjadi simpul 3 kota utama di pulau emas tersebut, yakni Medan, Padang, dan Pekanbaru. Tak heran, banyak tokoh-tokoh Sumatera Barat di masa itu mempunyai irisan penting dengan Padang Panjang yang juga menjadi tujuan pendidikan di masa lalu. Mulai dari Sutan Sjahrir, Hamka, AA Navis, Adam BB, Huriah Adam dan masih banyak lagi.
“Saya tak ingat satu persatu. Di sinilah berdiri sekolah agama modern pertama di Indonesia, yakni Diniyah School dan Diniyah Putri, juga Yayasan Pendidikan Thawalib tempat Hamka pernah menuntut ilmu,” kata Hananto menulis.
Dia juga mengatakan dengan jujur, di Padang Panjang saya diterima sebagai keluarga, dan saya begitu merasa terhormat bisa bertemu dengan orang-orang hebat yang begitu mencintai kotanya. “Mereka mencurahkan waktu tenaga dan pikirannya untuk kemajuan kota kecil yang indah ini,” tulisnya.