Maha Mulia Yang Dipertuan Besar Negeri Sembilan Darul Khusus Tuanku Muhriz Ibni Almarhum Tuanku Munawir, bersama permaisurinya Duli Yang Maha Mulia Tuanku Ampuan Besar Negeri Sembilan Darul Khusus Tuanku Aishah Rohani binte Almarhum Tengku Besar Mahmud, telah purna.
Istiadat pertabalan itu berlangsung secara maraton, akbar, khidmat, dan dipusatkan di Balairong Seri Istana Besar Seri Menanti, Negeri Sembilan, Malaysia dari tanggal 22 hingga 28 Oktober lalu. Prosesi itu menyisakan banyak cerita tentang akar Negeri Sembilan, dan pertaliannya yang sangat erat dengan leluhur mereka, yaitu orang Minangkabau di Sumatera Barat.
Empat hari di Negeri Sembilan, dan sehari di Malaka, lebih dari cukup untuk mengetahui, bagaimana rakyat Negeri Sembilan menjunjung semboyan ”Payung Berdaulat, Warisan Beradat”, alias menjaga tradisi leluhur mereka dengan sangat baik dan hormat. Buktinya, selama prosesi pengukuhan atau pertabalan rakyat jelata tumpah ruah dan memberikan sambutan hangat kepada raja baru mereka.
Selama tujuh hari itu pula, perhatian publik Malaysia pada umumnya, dan negara bagian lainnya, serta rakyat Negeri Sembilan khususnya, tertuju kepada sosok raja dan permaisuri, yang konon dikenal sangat dekat dengan rakyat kecil, bersahaja dan merakyat.
Hebatnya, adat istiadat, prosesi, busana yang dikenakan, peralatan kerajaan yang digunakan, dan bahasa pengantar hingga bangunan asli kerajaan Istana Besar Seri Menanti, tidak berbeda dengan adat yang selama ini terlihat, dan digunakan di tanah Minang, di Sumatera Barat. Hal itu menjadi maklum, mengingat nenek moyang para Raja Negeri Sembilan, termasuk Raja ke-11 kali ini, berasal dari tanah Minang.
Dalam tinjauan historis, secara etimologi, nama Minangkabau berasal dari dua kata, yaitu minang (menang) dan kabau (kerbau). Nama itu, sebagaimana versi sejarah resmi, berasal dari sebuah legenda. Arkian, sebagaimana dirawikan dalam situs yang terdapat di dalam Istana Seri Besar Seri Menanti yang asli di Kuala Pilah, pada abad ke-14, kerajaan Majapahit melakukan ekspedisi ke sebuah wilayah, yang akhirnya bernama Minangkabau.
Untuk mencegah pertempuran frontal dengan pasukan kerajaan Majapahit dari Jawa, masyarakat lokal mengusulkan untuk mengadu kerbau Minang dengan kerbau Jawa. Pasukan Majapahit yang dikenal tak mengenal rasa takut, tentu saja dengan lapang hati menyetujui usul tersebut. Sejurus kemudian, pasukan Majapahit menyediakan seekor kerbau yang besar, kokoh, kuat, garang dan agresif. Sedangkan rakyat Minang menyediakan seekor anak kerbau yang lebih kecil, namun dalam kondisi lapar.
Dan tak lupa mengikatkan dua bilah pisau pada masing-masing tanduk kecilnya. Dalam pertempuran itu, secara instingtif, anak kerbau itu mencari kerbau besar Jawa, dan langsung mencabik-cabik perutnya, karena menyangka kerbau besar itu adalah induknya, yang hendak menyusuinya. Nah, kecerdikan orang Minang itulah, sekali lagi konon, yang menjadi inspirasi nama Minangkabau, sebagaimana yang kita kenal sekarang.
Dari Minangkabau pula, kelak sejarah mencatat Adityawarman, pendiri kerajaan Pagaruyung, yang meliputi provinsi Sumatra Barat sekarang dan daerah-daerah di sekitarnya, pada abad ke-14 melakukan perjalanan menyeberang ke Selat Malaka, akibat konflik antara kerajaan Majapahit dan kerajaan Sriwijaya pada waktu itu.
Singkat cerita, karena lalu lintas orang-orang Minang dari kerajaan Pagaruyung semakin besar ke Selat Malaka, akhirnya sejarah mencatat Raja Melewar dari Minang, ditabalkan sebagai Yang Dipertuan Besar Negeri Sembilan yang pertama. Raja pertama itu menyandang nama lengkap Yang Maha Mulia Paduka Sri Tuanku Sultan Mahmud Syah ibni al-Marhum Sultan ‘Abdu’l Jalil, Yang diPertuan Besar Negeri Sembilan. Raja Melewar memerintah dari tahun 1773 sampai 1795. Ia putra Sultan Abdul Jalil, Raja Pagaruyung.
Raja Melewar diangkat menjadi Raja oleh Datuk-datuk Penghulu Luak, yang sekarang disemati dengan gelar Undang. Para Undang itu pula, yang pada hari Minggu (25/10) lalu, menabalkan Raja ke-11 Negeri Sembilan lewat prosesi Panca Persada. Nama Negeri Sembilan sendiri diambil dari nama ”Sembilan Negeri” yang diketuai oleh ”Sembilan Penghulu” yang menabalkan Raja Melewar. Kata ”Negeri” di awal kata ”Sembilan” itu, diambil dari istilah yang lazim dipakai di tanah Minangkabau, yang mempunyai pengertian satu kawasan atau daerah yang kira-kira seluas luak (luhak), atau mukim atau kampung, yang jumlahnya sembilan.
Karena ikatan yang kuat dengan tanah Minang itulah, tidak berlebihan jika rayat Negeri Sembilan turut prihatin atas gempa yang terjadi di tanah leluhur mereka: Padang. Itu terlihat di pemberitaan koran-koran setempat, ketika rakyat Negeri Sembilan secara bergotong royong memberikan sumbangan secara swadaya kepada korban gempa Padang. Dan keharuman nama orang Minang, katakanlah nama seperti Hamka, sebagaimana diakui Jefri SM Ali Al Haj, seorang freelance tourist guide yang disewa Tourism Malaysia, tidak asing bagi orang Negeri Sembilan, bahkan Malaysia.
Menjunjung Adat
DI Negeri Sembilan yang baru saja memiliki raja baru itu adat istiadat ditempatkan dengan sangat hormat, takzim, dan sepatutnya. Tuanku Muhriz, demikian sang Raja disapa, lahir pada 14 Januari 1948 di Kuala Pilah. Dia menuntut ilmu di Sekolah Tuanku Mohammad di Kuala Pilah dan Sekolah Tuanku Besar Tampian serta Sekolah King George V di Seremban.
Seremban adalah ibukota Negeri Sembilan. Di Seremban nyaris saban hari suasananya seperti di Jakarta pada Lebaran alias sepi. Jalanannya lebar, resik tapi lengang. Bahkan keramaiannya, masih kalah dengan kota Salatiga di Jateng. Namun, di Seremban, yang tak seberapa jauh jaraknya dengan Port Dickson, kota pantai tempat penulis merehatkan diri, pemerintahan dan pusat pendidikan Negeri Sembilan dijalankan.
Dari Seremban, Tuanku Muhriz melanjutkan menimba ilmu di Aldenham School, Elstree Inggris, hingga mendapatkan level-O dan Level-A. Sebelum menajamkan keilmuannya dalam bidang hukum di University of Wales, Aberystwyth dan meraih gelar LLB pada tahun 1970.
Bukan itu saja, sebagai keturunan raja yang mempunyai kemudahan menuntut ilmu di Inggris, Tuanku Muhriz sangat akrab dengan musik Beatles, jazz dan samba. Bahkan akrab dengan kesebelasan Arsenal di London, dan penonton tetap pertandingan tenis Grand Slam di negeri Pangeran Charles.
Pergaulannya lintas negara. Paling tidak, hal itu terlihat dari siapa yang menghadiri penabalannya. Dari Sultan Brunei, Perdana Menteri Malaysia, Raja Malaka, Raja Sabah, Raja Sarawak hingga Gubernur Penang. Tapi, semua itu tetap membuat Raja dari tiga putra pangeran itu tetap melakoni perannya sebagai Raja Negeri Sembilan ke-11 dengan rendah hati dan membumi.
Meski kerendahatiannya terkesan ”too good to be true”, tapi sebagaimana kesaksian rakyat yang mencintainya, memang demikian adanya. Buktinya, ujar Datuk Ibrahim Jahaya, koordinator istiadat Istana Seri Menanti, raja tidak segan-segan menghampiri dan membaur dengan kehidupan rakyat jelata. Dan mobil yang dia tumpangi, meski memungkinkannya memilih mobil Eropa seri terbaru, tapi raja memilih BMW Seri 5 yang telah menemaninya ke mana-mana selama 25 tahun terakhir.
Atas kebersahajaannya itulah, raja sangat dicintai rakyatnya. Sang Raja memang berkomitmen menjaga warisan kebudayaan Negeri Sembilan. negeri itu terakhir melakukan prosesi penabalan lebih dari 40 tahun lalu.
Tidak berlebihan, bahkan selama berhari-hari, dari pagi hingga siang hari, tanpa memedulikan panasnya terik matahari, rakyat berbondong-bondong menjadi saksi penabalan sang raja. Teristimewa pada sesi ketika Kereta Kencana raksasa, yang ditarik para hulubalangnya, membawa raja dan permaisuri pada prosesi Panca Persada.