Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT) – Festival Fulan Fehan berlangsung di Puncak Fulan Fehan, Kecamatan Lamaknen, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT). Fulan Fehan adalah sebuah lembah di kaki Gunung Lakaan yang menyuguhkan panorama sabana hijau nan luas. Lembah ini berada di Desa Dirun, Kecamatan Lamaknen, Kabupaten Belu, NTT. Sekitar 26 km dari Atambua, ibukota Kabupaten Belu.
Bukit Fulan Fehan memiliki hamparan padang sabana luas dengan warna hijau. Pemandangannya seperti di film-film negeri dongeng. Ditambah lagi, kuda-kuda bebas berkeliaran dan pohon-pohon kaktus tumbuh subur sejauh mata memandang.
Terdapat sekitar 1.500 penari yang sedang persiapan gladi resik. 1500 penari ini mempertontonkan tarian Likurai yang melegenda.
“Atraksi seperti ini yang dibutuhkan untuk mendatangkan wisatawan melalui cross border. Setidaknya, NTT harus punya minimal tiga event skala nasional seperti Festival Fulan Fehan di dekat pintu-pintu masuk perbatasan,” ujar Menpar Arief Yahya, Jumat (5/10).
Yang lebih penting lagi, lanjut Menpar, acara ini juga dinikmati oleh negara tetangga Timor Leste. Ini menjadi daya tarik pariwisata tersendiri di wilayah border tourism.
“Kuncinya adalah seni-budaya, musik, dan kuliner ini untuk menggaet pasar negara tetangga. Apalagi, warga Timor Leste bisa masuk ke Indonesia dengan menggunakan bebas visa kunjungan (BVK) sehingga warga Timor Leste bisa menggunakan uangnya di Indonesia,” terang Menpar Arief Yahya.
Dijelaskan Menpar, yang tak kalah penting lagi, adalah komitmen kepala daerah. Seperti gubernur, wali kota, dan bupati. Komitmen untuk terus menjaga akses, amenitas, dan atraksi di daerahnya. Tujuannya untuk terus menjaga kedatangan wisatawan.
“Harus diupayakan ada transportasi sampai ke puncak. Amenitas bisa memanfaatkan nomadic tourism. Di sini bisa dibikin glamcamp atau karavan. Tapi semua butuh keseriusan CEO daerahnya,” ujar Arief Yahya.
Menpar mengaku senang, event yang diprakarsai Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bersama Kementerian Pariwisata ini sudah menggunakan koreografer level nasional. Sebab Kemenpar saat menetapkan event ini sebagai 100 Wonderful Event CoE 2018 juga menggunakan kurator kelas nasional.
“Ini sudah bagus. Karena sudah menggunakan koreografer sekelas Eko Nugroho (Eko Pece). Tahun depan kita akan dukung lebih maksimal lagi agar menjadi lebih istimewa lagi,” tuturnya.
Menpar menambahkan, festival ini harus terus berlanjut setiap tahun. Tanggal waktu pelaksanaan juga harus sudah bisa ditetapkan sejak jauh-jauh hari dan konsisten.
“Karena jika kalender acara sudah bisa dipastikan tanggalnya, kami pun bisa membantu mempromosikannya dengan baik dan tepat,” kata Menpar Arief Yahya.
Plt Deputi Bidang Pengembangan Pemasaran I Kemenpar, Ni Wayan Giri Adnyani menjelaskan, Tarian Likurai adalah sebuah tarian perang khas dari masyarakat pulau Timor. Khususnya di Kabupaten Belu, yang menceritakan perjuangan masyarakat setempat mengusir penjajah saat zaman penjajahan.
“Tarian Likurai merupakan tarian yang tidak akan berada di mana pun di belahan dunia. Tarian ini tentu saja menjadi tarian khas yang merupakan warisan serta budaya leluhur dari masyarakat di daerah ini,” ujar Giri didampingi Asdep Pengembangan Pemasaran I Regional III, Ricky Fauziyani.
Giri menambahkan, dibalik ekspresi keindahan tari Likurai, tarian yang satu ini mengandung ceritera mistis. Dalam Bahasa Tetun Belu, Likurai berasal dari dua kata Haliku dan Rai. Haliku berarti mengawasi, menjaga, melindungi, memelihara, mengambil, menguasai. Rai berarti Tanah, Bumi, Negeri atau Pulau. Haliku Rai atau kelak disingkatpadukan menjadi Likurai.
“Boleh diartikan sebagai sebuah aksi atau tindakan mengawasi, menjaga, melindungi, memelihara dan mengambil tanah atau bumi, entah tanah itu pada dasarnya milik kita, maupun milik orang lain,” jelasnya. (*)